Tradisi Wanita Telanjang Di Bali
TELANJANG
Oleh anusbolduburectum. Rabu, 30 Desember 2009. Kategori
Semasa sekolah SMA, saya pernah
mengikuti pelatihan untuk menjadi seorang penjaga keselamatan di pantai
atau lebih dikenal dengan istilah Lifeguard. Jaman sekarang orang-orang
sering menyebut profesi ini dengan istilah ngawur Baywatch karena
populernya serial TV pamer dada dan pantat yang dibintangi oleh Pamela
Anderson ini. Cuma jangan bayangkan Lifeguard di Indonesia seperti di
film itu, jangankan helicopter dan yacht yang super deluxe, Lifeguard di
Indonesia (nama resminya adalah Balawista) pada jaman itu, masih sering
kesulitan untuk sekedar membeli bensin bagi mesin 35 PK Suzuki yang
tertempel di perahu boat penyelamatnya, yyahhhh, nasib, . nasib hidup
di negara berkembang, .
Pelatihan ini berlangsung di pantai Kuta selama 10 hari,tanpa libur,
dari jam 7 pagi hingga jam 6 sore dan hanya disela oleh makan siang.
Kami dilatih langsung oleh pelatih-pelatih dari SLSA (Surf Life Saving
Association) Australia. Ada banyak ketrampilan yang diajarkan seperti
tali-temali, arus dan gelombang laut, penyelamatan dengan surfboard,
penyelamatan dengan rescue tube dan tentunya resuscitation yang menjadi
andalan semua orang yang berhubungan dengan penyelamatan nyawa orang
lain. Waktu itu saya masih lumayan pintar dan lumayan lincah berenang
sehingga masih mampu memperoleh penghargaan Bronze Medallion. Hore,
mari bersorak untuk Surya, angkat tangan keatas dan ucapkan hip-hip
hurai, hip-hip hurai, hip-hip hurai, he, he, he, .
Sebenarnya menjadi Lifeguard bukanlah hal yang unik dalam tradisi di
keluarga besar saya karena paman saya adalah pendiri Lifeguard Indonesia
sehingga sejak kecil saya telah biasa bermain-main di pantai. Sejak
umur 4 tahunan saya mulai sering dilepas main-main air di pantai Kuta
dan pantai-pantai lainnya di Bali, istilah gaulnya adalah Anak pantai.
Di jaman 70-an itu pantai di Bali masih sangat asri, misalnya yang saat
ini dikenal dengan pantai Kuta (yang sebenarnya terdiri dari tiga
bagian pantai yaitu, Kuta, Halfway dan Legian), saat itu masih ada tiga
Loloan (muara sungai) yang bermuara disana namun saat ini sudah lenyap
karena dimakan hotel-hotel besar.
Selain suasana yang indah dan sunset yang luar biasa bening, juga
banyak pemandangan lain saat itu yaitu pemandangan turis-turis hippies
yang telanjang bulat sedang berjemur di pantai. Sumpah demi semua orang
suci yang katanya pernah ada (Nietzsche misalnya, hua, ha, ha, .), saya
tidak merasa terganggu dengan pemandangan ini, juga tidak merasa
terangsang ataupun justru ingin mengintip-intip ketelanjangan tersebut.
Biasa saja, ya, benar, saya menganggapnya biasa saja, sebiasa saya
melihat pohon kelapa dan nelayan yang sedang menarik perahu di bibir
pantai. Waktu itu pantai Kuta belum banyak pengunjungnya, yang ada
adalah orang lokal Kuta dan turis-turis asing yang saling menghormati
dan tidak mengganggu satu sama lain. Apa ini terasa aneh bagi
teman-teman sekarang ?
Oke, ijinkan saya mendongeng sehubungan dengan ketelanjangan ini
Pada awal mulai bermukim di Bali, di awal abad ke 20, seorang pelukis
dari Belanda yang kita sebut saja dengan RB sangat terpesona dengan
pemandangan payudara perempuan Bali yang selalu terbuka. Sesuai dengan
gaya melukisnya, RB memutuskan untuk melukis fenomena yang dianggapnya
unik ini. Pada suatu pagi, RB duduk di pasar Ubud dan mengamati
perempuan Bali yang sedang bertransaksi.
Hanya dalam waktu beberapa menit, perempuan Bali yang tadinya berada
didekatnya, bergerak menjauh, terlihat risih dan berusaha menutupi
payudaranya masing-masing dari pandangan RB.
RB merasa heran, karena para perempuan tersebut tidak melakukan hal yang
sama ketika berhadapan dengan laki-laki Bali. Karena saat itu RB
menjadi tamu raja Ubud, maka di sore hari RB menemui sang raja dan
bertanya mengenai masalah tersebut.
Sang Raja menjawab :
Tuan RB dijauhi oleh perempuan Ubud bukan karena tuan orang Eropa yang
berbeda dengan mereka, namun karena tuan "memandang" perempuan Ubud sama
dengan cara tuan "memandang" perempuan Eropa.
RB merasa bingung dan bertanya :
Apakah ada suatu cara "memandang" yang berbeda dalam pergaulan masyarakat di Bali ? (pada masa itu)
Sang Raja menjawab :
Ya, cara tuan "memandang" tubuh perempuan Ubud tidak sama dengan cara
laki-laki Ubud ketika "memandang" tubuh perempuan Ubud, gerakan mata
tuan ketika "memandang" didorong oleh pengertian yang tuan dapatkan dari
kebiasaan masyarakat Eropa (Ideologi), sedangkan orang-orang Ubud
dibesarkan dengan kebiasaan dan pengertian yang berbeda dengan
pengertian yang tuan miliki (Ideologi yang berbeda). Untuk itu, saya
menyarankan tuan untuk bukan hanya merubah cara "memandang" dan agar
tuan tidak bertindak setengah-setengah, temuilah Purohita (pendeta
kerajaan) untuk bertanya tentang masalah ini.
Singkat cerita, RB menemui Purohita kerajaan Ubud dan menerima informasi
tentang ideologi Hindu Bali dalam hubungannya dengan tubuh perempuan.
Intinya, ideologi ini menyatakan bahwa tubuh manusia, perempuan maupun
laki-laki adalah Stana (tempat bersemayam) Yang Segala Maha. Jadi sangat
wajar ketika mandi di sungai misalnya, tidak terdapat batas yang jelas
antara permandian laki-laki dan permandian perempuan (kalau anda
pengikut agama yang saleh, apakah anda akan ereksi melihat tempat
bersemayamnya Tuhan? he, he, he, ). Sementara payudara perempuan
adalah lambang kesuburan dan pemberian kehidupan (Dewi Sri sebagai Cakti
Dewa Wisnu), tanpa air susu itu, tidak akan ada pendeta, penguasa dan
rakyat, tidak akan ada Bhakta , tidak akan ada kehidupan.
Setelah mendengar informasi ini, RB diajak melakukan beberapa tradisi
asketis Hindu Bali sambil terus menerus menginternalisasi ideologi yang
baru diterimanya.
Seminggu kemudian RB memutuskan melakukan peninjauan lapangan sekali
lagi dengan konsep baru yang ada di kepalanya. Di pasar yang sama, pada
saat pasar sedang ramai-ramainya, RB membentangkan kanvas dan mencampur
warna diatas paletnya dan terjadilah keajaiban itu.
Pertama : Perempuan Ubud tidak menjauh, tidak terlihat risih dan tidak berusaha menutupi payudaranya dari pandangan RB.
Kedua : RB tidak lagi memandang payudara sebagai "hanya payudara" namun
memandangnya sebagai Stana Yang Maha, sehingga terdapat perubahan dalam
persepsinya dan caranya memandang tubuh perempuan Ubud.
Oke cukup sekian dulu dongeng si RB ini, semoga ada hikmahnya bagi kaum mesumer, he, he,he,
RB beruntung karena mengalami transisi ideology dengan bimbingan oleh
seorang ahli. Sementara saya juga rasanya cukup beruntung karena
mengalami transisi ideology justru dari persentuhan dengan banyak
ideology lain walaupun tanpa guru. Saat masih jadi anak pantai
seringkali saya menerima mainan-mainan baru dari londo-londo ini,
mainannya keren dan saat itu belum lumrah di Indonesia seperti papan
Skateboard, sepatu roda dll. Rupanya kesalahan pergaulan ini kemudian
membentuk berbagai pemikiran saya hingga saat ini. Kebetulan sejak tahun
60-an keluarga besar saya sering menerima tamu londo-londo Australia
dan Inggris (kwa, kak,kak, kak, londo kok Aussie dan Britain, he, he,
he, ) dan beberapa dari kami juga sering diundang bertamu ke negeri
mereka, karena itulah sejak kecil saya sudah tidak asing dengan
pertukaran budaya dan perbedaan ideology.
Satu hal yang harus digarisbawahi dalam pertukaran ideology ini adalah
masalah ketelanjangan perempuan yang sering jadi bahan olok-olok dari
suku lain terhadap suku Bali. Saat masih kecil saya terbiasa dengan
ketelanjangan, masalah ini tidak pernah diributkan dan bukan hal yang
aneh. Sejak mulai bersekolah, masalah ketelanjangan ini, entah
bagaimana, mulai jadi hal sensitive. Diajarkan kepada saya di sekolah
formal bahwa ketelanjangan adalah menyalahi etika, asing dan tidak
pantas. Tentu saja sebagai anak kecil, saya menurut saja, saya telan
mentah-mentah ide (yang sesungguhnya bukan asli Bali) ini dan mulai
teralienasi dari ide leluhur-leluhur saya sendiri tentang penghormatan
pada tubuh manusia.
Padahal walaupun saat itu perempuan Bali tidak menutupi dadanya, belum
pernah saya melihat dan mendengar mengenai pemerkosaan yang terjadi
karena dampak yang timbul dari budaya ini. Walaupun orang Bali mandi di
sungai dengan telanjang bulat dan tidak memiliki sekat yang jelas antara
tempat mandi laki-laki dan perempuan (saya masih mengalami hal ini saat
kecil) saya belum pernah mendengar tentang sexual harassment di
lingkungan saya.
Dalam melakukan perbandingan budaya telanjang ini (he, he, he, buset
dah, sejak kapan pula ada budaya telanjang, xi, xi, xi, xi. ), saya
membaca beberapa tulisan dengan seting budaya yang berbeda seperti
Ronggeng Dukuh Paruk dari Ahmad Tohari , Burung-Burung Manyar dari Y.B.
Mangunwijaya, La Galigo dari Luwu, Serat Centini dari Mangkunegaran dll.
Tanpa berpretensi untuk menjadi pahlawan pembela budaya asli, saya
berkesimpulan bahwa sesungguhnya orang Indonesia dengan suku-suku
aslinya telah memiliki suatu kesadaran budaya tentang ketelanjangan,
yang sepertinya tidaklah persis seperti pemahaman ketelanjangan yang
saat ini menjadi mainstream pemikiran di Indonesia.
Kenapa saya sebut mainstream ?
Karena pendukung kebudayaan (anti) ketelanjangan baru ini telah berhasil
dengan sukses menjadikan gagasan mereka yang monolitik dengan dasar
ide-ide scriptualisnya menjadi sebuah Undang-undang yang mengikat bagi
seluruh penduduk Indonesia. Saya tidak pernah melihat toleransi atau
tenggang rasa dalam gerakan ini, yang ada hanya amarah dan kemurkaan,
tuduhan dan hujatan, perang, pembunuhan dan pengeboman. Keberhasilan ide
yang tidak bertenggang rasa ini menjadi Undang-undang otomatis berarti
memaksakan satu ide monolitik kepada orang lain. Secara riil di
lapangan, salah satu prestasi terbesar golongan ini adalah disahkannya
UU Pornografi yang ngawur itu, lha bagaimana tidak ngawur,
nomenklaturnya aja berbunyi PornoGRAFI, kok yang diatur malah gaya hidup
sehari-hari ?
Dicari di rumusan kamus dan ensiklopedi apapun, yang namanya Graph itu
ya barang cetakan, tapi isinya UU itu kok malah mengatur tingkah laku
orang per orang ?
Dasar Jaka Sembung bawa golok, nggak nyambung goblok, .
Kepornoan, kemesuman, nafsu birahi dan lain lain terletak di dalam otak
kita, subyeknya adalah otak kita sendiri, bukan tubuh, payudara, vagina
atau penis individu lain. Di luar otak kita adalah obyek yang
semata-mata menjadi stimulan bagi otak kita, karena itu, menuruti
nasihat bijak dari sang Purohita kerajaan Ubud, berusahalah mengontrol
otak kita sebelum mengintervensi kehidupan individu lain.
Kawan kawan yang terhormat, menurut saya tujuan manusia menjadi manusia
adalah untuk memerdekakan diri dari belenggu ikatan-ikatan duniawi.
Dibandingkan dengan mengintervensi individu lain, bukankah lebih baik
kita memerdekakan diri dari ego kita sendiri ?
Kayaknya sih saya belum berhasil tapi minimal saya sedang berusaha kesana
Kawan-kawanku yang baik, maafkan apabila Note saya ini menyinggung ujung
lobus oksipital anda yang kemudian dihubungkan oleh talamus menuju
anterior pada lobus frontalis sehingga membuat hipotalamus anda
bereaksi. Kalau reaksinya berupa emosi positif, mohon salurkan pada
orang-orang yang anda cintai sedangkan kalau reaksinya emosi negatif,
mohon lebih banyak berdoa, kwa, kak, kak, .
Semoga sudut pandang yang berbeda dapat membuat kita makin toleran
Salam hari raya Kuningan dari Klojen
Made Surya Putra